Kata-Kata Hikmah Ibnul Qoyyim


  • Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang merenungkan keadaan alam semesta dan berbagai keburukan yang terjadi padanya, niscaya dia akan menyimpulkan bahwa segala keburukan di alam semesta ini sebabnya adalah menyelisihi rasul dan keluar dari ketaatan kepadanya. Demikian pula segala kebaikan yang ada di dunia ini sebabnya adalah ketaatan kepada rasul.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/236-237])
  • Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa yang mencermati syari’at, pada sumber-sumber maupun ajaran-ajarannya. Dia akan mengetahui betapa erat kaitan antara amalan anggota badan dengan amalan hati. Bahwa amalan anggota badan tak akan bermanfaat tanpanya. Dan juga amalan hati itu lebih wajib daripada amalan anggota badan. Apa yang membedakan orang mukmin dengan orang munafik kalau bukan karena amalan yang tertanam di dalam hati masing-masing di antara mereka berdua? Penghambaan/ibadah hati itu lebih agung daripada ibadah anggota badan, lebih banyak dan lebih kontinyu. Karena ibadah hati wajib di sepanjang waktu.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14-15)
  • Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan, “Amalan-amalan hati itulah yang paling pokok, sedangkan amalan anggota badan adalah konsekuensi dan penyempurna atasnya. Sebagaimana niat menduduki peranan ruh, sedangkan amalan laksana tubuh. Itu artinya, jika ruh berpisah dari jasad, jasad itu akan mati. Oleh sebab itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik hati lebih penting daripada mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik anggota badan.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 15)  
  • Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melampaui batas, berupa sesembahan, sosok yang diikuti ataupun ditaati. Sehingga thaghut dari setiap kaum adalah orang yang menjadi patokan hukum bagi mereka selain Allah dan Rasul-Nya. Atau mereka beribadah kepada-Nya, selain beribadah kepada Allah. Atau mereka mengikutinya tanpa berdasarkan bashirah/ilmu dari Allah. Atau mereka taat kepadanya dalam urusan yang tidak mereka ketahui apakah hal itu termasuk bagian ketaatan kepada Allah. Inilah thaghut yang ada di alam semesta. Apabila kamu memperhatikannya dan mencermati kondisi manusia -dalam berinteraksi- bersama mereka (thaghut, pent), niscaya kamu akan melihat bahwa kebanyakan orang telah berpaling dari ibadah kepada Allah menuju ibadah kepada thaghut. Berpaling dari taat dan mengikuti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju taat dan mengikuti thaghut.” (lihat Taisir al-‘Aziz al-Hamid, hal. 142)
  • Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Bahkan, ibadah kepada Allah, ma’rifat, tauhid, dan syukur kepada-Nya itulah sumber kebahagiaan hati setiap insan. Itulah kelezatan tertinggi bagi hati. Kenikmatan terindah yang hanya akan diraih oleh orang-orang yang memang layak untuk mendapatkannya…” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/97])
  • Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang melata di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-‘Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
  • Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah subhanahu menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu.” (lihat al-‘Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 227).
  • Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Manusia itu, sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang menciptakannya. Pada dasarnya ia suka berlaku zalim dan bersifat bodoh. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia menjadikan kecenderungan dirinya, rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya terhadap sesuatu sebagai standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau bermanfaat baginya. Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang Allah pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan larangan-Nya…” (lihat al-Fawa’id, hal. 89)
  • Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perkara paling bermanfaat secara mutlak adalah ketaatan manusia kepada Rabbnya secara lahir maupun batin. Adapun perkara paling berbahaya baginya secara mutlak adalah kemaksiatan kepada-Nya secara lahir ataupun batin.” (lihat al-Fawa’id, hal. 89)
  • Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ada tiga pokok yang menjadi pondasi kebahagiaan seorang hamba, dan masing-masingnya memiliki lawan. Barangsiapa yang kehilangan pokok tersebut dia akan terjerumus ke dalam lawannya. [1] Tauhid, lawannya syirik. [2] Sunnah, lawannya bid’ah. Dan [3] ketaatan, lawannya adalah maksiat…” (lihat al-Fawa’id, hal. 104)
  • Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dan perhatikanlah hikmah yang Allah ta’ala simpan di balik mengapa Allah menjadikan para raja, pemimpin, dan penguasa bagi manusia orang-orang yang serupa [buruknya] dengan perbuatan mereka (rakyat). Bahkan, seolah-olah amal perbuatan mereka itu terekspresikan di dalam sosok para penguasa dan raja-raja mereka. Apabila rakyat itu baik niscaya baik pula raja-raja mereka. Apabila mereka (rakyat) menegakkan keadilan niscaya para penguasa itu menerapkan keadilan atas mereka. Dan apabila mereka berbuat aniaya (tidak adil) maka raja dan penguasa mereka pun akan bertindak aniaya kepada mereka. Apabila di tengah-tengah mereka merebak makar (kecurangan) dan tipu daya, maka demikian pula pemimpin mereka. Apabila mereka tidak menunaikan hak-hak Allah dan pelit dengannya, demikian pula para penguasa mereka akan menghalangi hak-hak rakyat yang semestinya ditunaikan kepada mereka…” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 258 oleh Syaikh Muhammad Sa’id Raslan)   
  • Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sumber dari semua fitnah [kerusakan] adalah karena mendahulukan pemikiran di atas syari’at dan mengedepankan hawa nafsu di atas akal sehat. Sebab yang pertama merupakan sumber munculnya fitnah syubhat, sedangkan sebab yang kedua merupakan sumber munculnya fitnah syahwat. Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat dapat ditepis dengan kesabaran. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami menjadikan di antara mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. as-Sajdah: 24). Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan sabar dan keyakinan akan bisa dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam firman-Nya (yang artinya), “Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr: 3). Saling menasehati dalam kebenaran merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syubhat, sedangkan saling menasehati untuk menetapi kesabaran adalah sebab untuk mengekang fitnah syahwat…” (lihat Ighatsat al-Lahfan hal. 669)
  • Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah mencakup dua jenis kekafiran; ashghar dan akbar, tergantung keadaan orang yang mengambil keputusan hukum. Apabila dia meyakini bahwa dia wajib menerapkan hukum Allah atas kejadian ini namun dia berpaling darinya karena maksiat dan di saat yang sama dia mengakui bahwa dirinya layak untuk menerima hukuman maka ini adalah kufur ashghar. Namun, apabila dia meyakini bahwa hal itu tidak wajib, atau dia bebas [untuk mengikutinya atau tidak, pent], sementara dia yakin bahwa itu adalah hukum Allah; maka ini adalah kufur akbar. Adapun apabila dia tidak tahu atau tersalah, maka orang ini terhitung sebagai pelaku kekeliruan -yang tidak disengaja- sehingga baginya berlaku hukum orang yang tak sengaja berbuat kesalahan.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/400])